Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 22.00 WAS. Para peserta kongres baru saja beranjak keluar dari Gedung KBRI yang megah. Suasana di luar sudah mulai gelap dan sepi. Tidak ada orang atau mobil yang berlalu-lalang, hanya ada satu petugas patroli polisi yang rutin. Di sepanjang jalan pulang, mata terasa berat menahan kantuk, tapi di saat yang sama, masih terngiang-ngiang pidato Bapak Duta Besar dalam pembukaan โKongres Paguyuban Indonesia se-Arab Saudiโ yang berlangsung sekitar 20 menit itu.
Pidato pembukaan kongres ini bukanlah pidato pembukaan pada umumnya; standar, normatif, atau datar. Tidak! Bukan itu. Tapi ini pidato yang memang sengaja dipersiapkan beliau secara khusus untuk suatu tujuan tertentu, “perkara besar nan penting” yang harus disampaikan.
Alasannya sederhana; selama penulis mengikuti kegiatan komunitas/ormas, paling tidak setahun terakhir ini, tidak pernah sekalipun melihat beliau menghadiri undangan komunitas atau ormas tertentu yang ada di Riyadh. Terlepas sepenting apa pun kegiatan komunitas tersebut. Seperti biasa, hanya diwakilkan kepada wakil beliau, Pak Wakeppri Sugiri Suparwan, Lc. MA.
Tentu kita bisa mengatakan, “Oh ini bukan level beliau untuk menghadiri kegiatan-kegiatan komunitas para WNI/PMI di perantauan.” Namun dugaan ini bisa jadi subjektif dan tidak benar adanya. Sekali lagi, ini hanya sependek pengetahuan penulis yang baru aktif berkegiatan organisasi setahun terakhir ini (aktif di HIMA-UT, aktif di Laskar NTB, dan terakhir di JAPRI) meskipun telah bermukim di Arab Saudi kurang lebih 21 tahun.
Curiga Ada Motif Tertentu
Kenapa kali ini Pak Dubes menyempatkan diri untuk hadir di acara ini, di saat jadwal tugas-tugas diplomatik beliau yang super padat? Apakah karena pembentukan paguyuban ini adalah inisiatif beliau yang dianggap super penting? Padahal kalau tujuan utamanya โhanyaโ demi persatuan dan demi untuk tujuan koordinasi, rasanya dalil ini tidaklah terlalu kuat, karena bagaimanapun secara organik mereka para WNI/PMI sebenarnya di hampir seluruh tempat di Arab Saudi sudah mengorganisir diri dalam suatu perkumpulan atau ormas dengan corak yang beragam.
Bahkan sebagian besar telah terdaftar di KBRI atau di KJRI Jeddah, baik dengan atau tanpa arahan KBRI. Meskipun di beberapa tempat yang jauh dari KBRI tak bisa dipungkiri butuh uluran tangan KBRI untuk menyatukan WNI/PMI yang tidak saling kenal dalam satu wadah paguyuban. Namun mestinya tidak berlaku untuk semua tempat.
Apa pula urgensinya KBRI harus terlibat aktif mendorong terbentuknya paguyuban untuk menyatukan segala bentuk perkumpulan? Penyatuan beragam komunitas ini apa keadaan daruratnya sehingga harus disatukan? Bukankah lebih baik dibiarkan saja tumbuh beragam? Toh kan by nature mereka saling berinteraksi, saling bersilaturahmi, saling mengundang antar sesama merawat keindonesiaan yang tidak bisa ditawar (harga mati, bahkan sampai hidup lagi tetap Indonesia).
Atau โjangan-janganโ ini hanya cara KBRI untuk melunakkan elit-elit ormas/komunitas untuk menghindari kritik pedas netizen PMI/WNI di media sosial yang diarahkan ke KBRI atas kekecewaan dalam penanganan beberapa aduan atas beberapa kasus perlindungan.
Kecurigaan ini mungkin saja salah, tapi mungkin juga ada benarnya. Namun, tidaklah salah kiranya kalau kita sedikit memberi ruang untuk introspeksi bersama agar tidak salah mendiagnosis penyakit dan salah memberi obat. Jangan-jangan penyatuan paguyuban-paguyuban ini bukanlah jawaban dari masalah utama pekerja migran, atau bisa jadi juga merupakan kesempatan untuk kita saling membuka diri dan saling mendengarkan antara pemerintah dan masyarakatnya.
Kecurigaan Sirna dalam 20 Menit
Muatan pidato Pak Dubes pada pembukaan kongres pada Kamis malam, 13 Juni 2024, sebenarnya berbobot sangat tinggi, mungkin sulit dipahami oleh rata-rata 70% PMI yang bekerja di sektor informal dengan pendidikan rata-rata 60% hanya lulusan SD/SMP. Pak Dubes berbicara tentang โIntelektual Organik, Perbenturan Peradaban, naik setingkat lebih tinggi,โ dan seterusnya. Ada yang bertanya, โItu Pak Dubes lagi ngomongin makhluk apa sih?โ.
Ternyata memang tidak mudah mentransmisikan pemikiran Pak Dubes dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna. Beliau sendiri seperti mengalami sedikit kesulitan. Itu terlihat dari cara beliau mengawali pokok bahasan yang ingin beliau sampaikan. Misalnya, beberapa kali beliau mengucapkan, โBegini, tolong dengarkan ini, yang mau sambil tidur silakan tidur, tidak apa-apa, tapi tolong dengarkan,โ diikuti gerakan tangan seolah-olah memukul podium sebagai bentuk penegasan. Terkesan beliau tidak yakin dengan bahasan yang ingin beliau sampaikan akan sampai ke kita semua, terutama penulis yang hanya lulusan madrasah ini.
Namun, alhamdulillah, apa yang Pak Dubes sampaikan bisa dipahami dengan baik, setidaknya oleh kita semua perwakilan yang menghadiri kongres. Ada beberapa hal yang mungkin perlu digarisbawahi terkait muatan pidato Pak Dubes. Yang pertama adalah Perbenturan Peradaban, yang kedua Intelektual Organik, yang ketiga martabat (dignity), dan yang terakhir adalah naik setingkat lebih tinggi. Mari coba kita jabarkan satu per satu, lalu kita coba transmisikan ilmu pengetahuan dari Pak Dubes ini kepada semua masyarakat Indonesia di Arab Saudi bahkan ke seluruh dunia. Agar pada akhirnya kita bisa naik setingkat lebih tinggi atau sejajar dengan negara-negara maju lainnya. Seperti kata Pak Albaq, โWeโre not second class, but Weโre first class.โ
Pak Dubes menggunakan diksi โperbenturan peradabanโ yang merupakan terjemahan bebas dari “The Clash of Civilizations” oleh Samuel P. Huntington. Sebuah buku kontroversial yang terbit tahun 1996, bertemakan setidaknya mencakup tiga hal: Konflik Peradaban, Identitas Budaya, dan Perubahan Tatanan Dunia. Huntington mengidentifikasi sembilan peradaban utama yang akan mendominasi dunia di masa depan: Barat, Ortodoks (Rusia dan Eropa Timur), Islam, Cina, Hindu, Jepang, Amerika Latin, Afrika, dan Budaya Budha. Dia berpendapat bahwa perbedaan budaya dan agama yang mendalam antara peradaban-peradaban ini akan menjadi sumber utama konflik global.
Meskipun buku ini menuai banyak kritik dari kalangan akademisi bahwa tidak selalu identitas budaya dan agama menjadi sumber konflik. Di sini tidak bermaksud untuk membedah atau meresensi bukunya Huntington tersebut, tetapi apa benang merah yang bisa kita petik dari uraian Bapak Dubes dan apa korelasinya dengan pembentukan Paguyuban Indonesia di seluruh kota di Arab Saudi, hingga membentuk Federasi Paguyuban sebagai pusat konsolidasi. Sebagai orang awam, saya menerjemahkan satu kata kunci yaitu bahwa kita bisa bangkit kembali dari keterpurukan, keterbelakangan, dan seterusnya dengan membangun kembali harga diri atau martabat bangsa (dignity) dengan menyadari kembali bahwa kita ini adalah anak-anak peradaban besar. Jangan merasa inferior. Kita ini anak kandung peradaban Kutai, Sriwijaya, Majapahit.
Berangkat dari sini, pak Dubes berusaha memfasilitasi, membangun kembali kesadaran kolektif, yang bermuara pada terbentuknya synergitas antar semua unsur Masyarakat PMI/WNI di Arab Saudi dengan cara mensolidkan dan menyatukan kembali serpihan -serpihan agar menjadi satu kekuatan yang utuh dan solid. Sampai di titik ini, saya bisa memahami niat mulia pak Dubes yang dikemas dalam ungkapan beliau yang terkenal โHidup ini hanya sekali, maka hiduplah dengan dahsyat penuh manfaat โ. Mau tidak mau harus didukung penuh dengan segala upaya yang kita mampu. Apalagi di usia beliau yang sudah sepuh, saya tidak melihat ada kepentingan tertentu, apalagi untuk tujuan politik praktis. Beliau hanya ingin menggerakkan semua potensi WNI/PMI di Arab Saudi untuk tujuan bersama. Karena masih banyak saudara-saudara kita di luar sana yang mungkin tidak seberuntung kita. Maka menjadi tugas moral kita sebagai sesama anak bangsa di rantauan, untuk berusaha melindungi mereka mengangkat derajat mereka dengan beragam potensi yang kita punya.
Selanjutnya OIN bisa melakukan apa?
Kini dauh pak Dubes sudah jelas. Intruksi beliau kepada jajarannya (pensosbud) telah dilaksanakan dengan baik dan sempurna hingga terbentuknya suatu rumah besar bernama “Overseas Indonesian Network (OIN)” cikal bakal Pusat orkestrasi segala sumber daya dan program demi sebesar-besarnya kemanfaatan bagi WNI/PMI di Arab Saudi. Maka sekarang saatnya untuk menterjemahkan dauh pak Dubes tersebut ke dalam rumusan program taktis dan langkah nyata yang dapat dirasakan manfaatnya oleh hampir satu juta WNI/PMI di Arab Saudi.
Tentu saja ini tantangan yang tidak mudah. Jangan sampai amplifikasi terbentuknya OIN hanya berhenti di medsos dan sebatas konten. Tidak sampai ke akar rumput, ke akar persoalan dan penyelesaian. Setelah amplifikasi OIN di medsos, lalu setelah itu apa? Menurut saya paling tidak 2 hal penting yang mesti kita lakukan segera, yaitu pertama konsolidasi ke dalam, dan kedua segera rumuskan program tahunan dan bulanan.
Konsolidasi ke dalam mutlak dilakukan. Bersilaturrahmi kepada semua tokoh-tokoh individu,Ormas, Komunitas dan partai harus menjadi agenda prioritas di awal terbentuknya OIN. Kita ingin semua komponen masyarakat WNI/PMI di Arab Saudi merasakan bahwa OIN ini adalah milik bersama dan bukan milik segelintir elit Paguyuban, apalagi oleh elit-elit pendiri Federasi.
Kita tidak boleh menafikan bahwa setiap ormas/Komunitas ada tokoh dengan egonya masing-masing. Maka untuk mengikis ego sentris ini, Silaturahmi adalah sebuah keharusan. Silaturahmi bisa dilakukan daring, luring atau hybrid bila itu memungkinkan. Yang jelas pada prinsipnya kita ingin menyebarkan semangat ini ke seluruh komponen anak bangsa di perantauan ini. Bila perlu ada agenda khusus untuk Bersilaturrahmi ke tokoh-tokoh professional, akademisi dan pelajar mahasiswa yang tersebar di seluruh Arab Saudi. Silaturrahmi adalah langkah awal kita untuk memulai gerakan besar.
Lalu selanjutnya adalah rumusan program kerja. Tentu akan banyak program usulan dari para pengurus OIN berdasar praktik selama aktip di komunitas masing-masing, tinggal diupgrade menjadi program Federasi. Dan Saya adalah salah satu yang ingin mengusulkan hal ini. Beberapa program kerja yang mapan dan rutin dilaksanakan tiap tahun bisa diendorse menjadi program Federasi, misalnya untuk divisi Pendidikan saya merekomendasikan untuk mempromosikan Universitas Terbuka sebagai pilihan alternatif melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi, yang mana hal ini rutin dilakukan oleh teman-teman di HIMA-UT yang diketuai oleh pak Gugun Gunawan (Staff KBRI). Disamping itu kawan-kawan di HIMA-UT juga aktip menyelenggarakan seminar-seminar edukasi dengan beragam tema; tema pelindungan WNI/PMI, tema Pemberdayaan dan lain-lain.
Disamping Pendidikan, masalah Advokasi /Pelindungan PMI adalah salah satu yang mesti jadi perhatian khusus, karena bagaimanapun masalah pelindungan ini menyita banyak energi dan sensitif sekali karena menyangkut nama baik negara di luar negeri. Perlu synergy intens antara KBRI dan pegiat-pegiat advokasi PMI. Kadang ada banyak kasus PMI itu tidak bisa diselesaikan di level KBRI karena masalahnya ada di hulunya bukan di hilirnya; bisa terkait peraturan perundang-undangan yang multitafsir baik menyangkut pelindungan (Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia) dan terkait TPPO (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang). Kedepan kenapa tidak OIN atas nama Federasi bisa berkomunikasi dengan elit-elit di Jakarta seperti Komisi IX atau Komisi I DPR RI. Saya yakin kita pasti bisa.
Pada akhirnya kita harus menyadari bahwa tanggung jawab di Federasi ini tidaklah ringan. Butuh nafas panjang dan kemampuan mengelola energi yang serba terbatas, tetapi mari alon-alon asal kelakon saja atau seperti nasehat terakhir pak wakil Dubes โsikapi ini semua secara marathon, jangan sprint, nanti tenaga keburu abis โ. Insya Allah kita dahsyat. Hidup hidupilah Federasi ini, jangan mencari kehidupan di Federasi (Meugah Riyan ).