Oleh: Ari M. Jinahar
Sang fajar baru saja menyingsing subuh, mengakhiri gelap, lalu perlahan naik ke ufuk timur sebagai pertanda dimulainya siklus kehidupan. Matahari meninggi, meninggalkan ufuk tepat sekitar pukul 6.00 waktu Arab Saudi (WAS). Lalu lintas di kota Riyadh perlahan mulai merayap, kendaraan menyemut di Jembatan Gantung (Al Qubr Al Muallaq) dari arah Ring Road Al Suwedy menuju Al Murooj. Suara klakson mobil bersahut-sahutan: “tat tet tot, teridit dit dit diiiiiiiiit doooot deeeet “.
“Itu bukan suara mobil, tapi suara manusia-manusia bersumbu pendek… kadaaaal… monyooong”, gerutu Kang Indra, kawan di sebelahku, dengan nada geram menyaksikan ketidaksabaran para pengendara di tengah kemacetan total.
Begitulah kira-kira potret yang lumrah kita lihat dan alami sehari-hari dalam kehidupan metropolis di kota Riyadh. Kota yang sebenarnya tandus, suhu panas bisa mencapai 50ยฐC (derajat Celsius); namun di lain sisi memberi kesempatan mencari fulus yang tak putus-putus bagi para pekerja migran dari berbagai penjuru negeri. Di sepanjang perjalanan, saya dan Kang Indra larut dalam obrolan tanpa tema. Mengalir begitu saja. Sesekali kami berbincang soal kontrakan yang belum terbayarkan, tagihan listrik dan air yang masih menunggak. Ditambah lagi soal lain: riak-riak kecil antar kolega dalam pekerjaan dan tetangga kontrakan.
Di kali lain, saya dan Kang Indra juga membicarakan dinamika dalam berumah tangga. Kewajiban rutin di tanah air: anak sekolah, kewajiban kepada orang tua, dan seterusnya. Mengalir tanpa arah. Hingga akhirnya terjebak pada pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban: โKapan kita berhenti merantau Kang?โ Kapan bangsa ini berhenti mengirim pekerja migran? Apakah bangsa yang besar dan kaya akan sumber daya ini tidak punya target, bahwa suatu saat rezim dan elit negeri ini akan mengatakan “cukup” dan saatnya kita menjadi tuan di negeri sendiri? Dan cukuplah sudah (enough is enough) generasi kita saja menjadi generasi terakhir, โGenerasi Pekerja Migranโ.
Kita menoleh sedikit kebelakang; sejak tahun 1970-an di era Suharto, karena motif devisa dan pengangguran yang massif di tanah air, stabilitas politik belum stabil, ekonomi porak poranda pasca suksesi kepemimpinan dari era Orde Lama ke Orde Baru; pengiriman pekerja migran Indonesia secara signifikan dan terstruktur tak terhindarkan (Booth, Anne. The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities. Palgrave Macmillan, 1998.) Entah sampai kapan kebijakan migrasi pekerja migran ke luar negeri ini akan berlangsung. Mungkin sampai kita tidak membutuhkan devisa lagi. Sampai kita menemukan pemimpin sekaliber Bung Karno dan Bung Hatta yang dengan segala daya upaya mendidik bangsa ini untuk berdiri di atas kaki sendiri (Berdikari) dengan sumber daya yang kita punya. Yang pasti sampai hari ini, pengangguran masih menjadi tantangan terbesar pemerintah, dan sepertinya masih kesulitan untuk tidak melakukan migrasi PMI, di samping, ini adalah salah satu cara yang mudah untuk mengurangi pengangguran selain meraup pundi-pundi devisa negara, yang mana hal ini tidak pernah terjadi di Era Sukarno.
Mungkin Kita memang belum mampu
Pertanyaan terakhir ini sering kali mengusik rasa hirau tentang daya saing Indonesia sebagai bangsa pelopor di pentas dunia zaman baru ini sebagaimana digagas oleh the founding fathers bangsa ini (Yudi Latif: Kompas, 18 May). Pengiriman pekerja migran ke luar negeri sepertinya masih menjadi salah satu opsi paling efisien untuk mengurangi pengangguran di tanah air. Jumlahnya masih besar; Sekitar 7,20 juta orang dari total 149,38 juta angkatan kerja atau sebesar 4,82 persen (rilis BPS per Februari 2024). Meskipun angka ini mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Lebih dalam kita bisa melihat bagaimana peta pengangguran per daerah di 34 provinsi: ย Jakarta (6,03), Jawa Barat (6,91), Kepulauan Riau (6,91), Aceh (5,56), Sumatera Utara (5,10), Sumatera Barat (5,79), Sumatera Selatan (3,97 ), Riau (3,85), Jambi (4,45), Bengkulu (3,17), Lampung (4,12), Kep. Bangka Belitung (3,85), Kep. Riau (6,94), Jawa Tengah (4,39), DI Yogyakarta (3,24), Jawa Timur (3,74), Banten (7,02), Bali (1,87), Nusa Tenggara Barat (3,30), Nusa Tenggara Timur (3,17), Kalimantan Barat (4,20), Kalimantan Tengah (3,67), Kalimantan Selatan (3,89), Kalimantan Timur (5,75), Kalimantan Utara (4,01), Sulawesi Utara (5,98), Sulawesi Tengah (3,15), Sulawesi Selatan (4,90), Sulawesi Tenggara (3,22), Gorontalo (3,05), Sulawesi Barat (3,02), Maluku (5,96), Maluku Utara (4,16), Papua Barat (4,31), Papua Barat Daya (6,02), Papua (5,81), Papua Selatan (4,75), Papua Tengah (2,49), dan Papua Pegunungan (1,18)
Daftar angka di atas menunjukkan bahwa beberapa kota besar dan padat penduduk seperti Jakarta, Jawa Barat, Banten, dan Jawa Tengah justru berkontribusi besar dalam menciptakan pengangguran alih-alih menciptakan banyak peluang kerja. Ironis memang, tetapi inilah faktanya. Migrasi pekerja migran ke luar negeri hadir sebagai salah satu solusi. Setidaknya 0.15 persen kontribusi pekerja migran dalam mengurangi pengangguran terbuka (TPT), (rilis BP2MI 2023).
Tentu saja kita patut menysukuri ini; migrasi pekerja migran ke luar negeri menyelamatkan sebagian rakyat Indonesia dari lingkaran setan kemiskinan. Pemerintah berbangga, melalui BP2MI melaporkan tiap tahun migrasi pekerja migran mengalami peningkatan. Per May 2024 misalnya, penempatan PMI mengalami peningkatan sebanyak 135,68% (14.955) dari 25.977 pada Mei 2023 menjadi 30.116 pada Mei 2024. Total penempatan PMI dari Januari s/d May 2024 sebanyak 139.859 PMI, terkonsentrasi di kawasan Asia dan Afrika sebanyak 130.754, di kawasan Eropa dan Timur tengah sebanyak 8.433 dan kawasan Amerika dan Pasifik sebanyak 672.
Dari total 139.859 PMI sepanjang January/May 2024 dilihat dari status pendidikan rata-rata didominasi oleh lulusan SMA/SMK dengan jumlah 60.669, lalu disusul SMP berjumlah 43.127, kemudian lulusan SD berjumlah 32.834, lulusan Diploma berjumlah 1.837, lulusan Sarjana berjumlah 1.362 dan lulusan Pasca Sarjana berjumlah 30 orang saja. Lebih jauh kalau dilihat dari status pekerjaan didominasi oleh pekerja di sektor formal dengan jumlah 70.233 dan sisanya pekerja informal berjumlah 69.626. Dan satu hal yang agak mengagetkan saya adalah kaum perempuan sangat mendominasi angka pekerja migran di atas dengan jumlah 93.355 dan sisanya kaum laki-laki dengan jumlah 46.504 orang.
Saya tidak tahu apakah harus berbangga dengan angka di atas. Dari sisi mana harus berbangga? Apakah karena keberhasilan negara mengirim sebanyak mungkin pekerja migran ke luar negeri? Mungkin dari perspektif itu, bagi pemerintah ini adalah sebuah kesuksesan. Meskipun, di saat yang sama, kesuksesan ini tidak diiringi dengan perlindungan optimal terhadap PMI.
Menurut laporan BP2MI, angka pengaduan selama tiga tahun terakhir terus mengalami peningkatan; tahun 2022, 2023, dan 2024. Pada tahun 2024 saja, pengaduan meningkat menjadi 674 kasus, dengan berbagai kategori, seperti deportasi/repatriasi, PMI ingin dipulangkan, meninggal, gaji tidak dibayar, biaya penempatan melebihi struktur biaya, sakit, perdagangan orang, jaminan sosial pekerja migran Indonesia, PMI gagal berangkat, penipuan peluang kerja, ilegal rekrut calon PMI, putus hubungan komunikasi, PMI dalam tahanan/proses tahanan, pekerjaan tidak sesuai perjanjian kerja, pemutusan hubungan kerja sebelum masa perjanjian kerja berakhir, dan lain-lain.
Pada bulan Mei 2024, dari total 226 kasus yang dilaporkan (dari seluruh negara penempatan), hanya dua kasus yang telah terselesaikan, atau hanya 2.2% dari total kasus. Sisanya, 97.8%, masih dalam proses.
Ini adalah sisi lain anomali pelindungan pekerja migran di seluruh negara penempatan, termasuk di Arab Saudi, masih menyisakan banyak cerita tragis dari para-PMI yang menuntut keberpihakan dan pelindungan optimal dari para pengambil kebijakan. Namun dalam konteks PMI di Arab Saudi, cerita-cerita PMI yang saya dengar langsung di lapangan memang berbanding terbalik dengan laporan kinerja KBRI Riyadh. Dalam laporan kinerja KBRI Riyadh tahun 2023 misalnya, presentase kasus WNI yang telah diselesaikan mencapai 83%. KBRI Riyadh berhasil menyelesaikan kasus dan memulangkan 602 PMI kurang beruntung penghuni shelter KBRI Riyadh, dengan rincian: visa ziarah: 357 PMI; formal: 144 PMI; informal: 98 PMI.
Anomali
Diskursus publik soal pelindungan PMI sudah sering dilakukan di berbagai platform media. Kebijakan moratorium pernah dilambil oleh pemerintah untuk memberi ruang evaluasi sebagai respons atas eksploitasi dan perlakuan tidak manusiawi di negara tujuan. Menindaklanjuti laporan-laporan yang menunjukkan tingginya angka kekerasan, pelecehan, dan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh PMI.
Alhasil beberapa kebijakan dalam bentuk produk-produk hukum dicetuskan untuk memperbaiki tata kelola pelindungan PMI, antara lain: UU No. 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI), PP No. 59 Tahun 2021, aturan turunan dari UU No.18 Tahun 2017. Permenaker Nomor 10 Tahun 2019 tentang Tata Cara Penempatan Pekerja Migran Indonesia oleh Badan Hukum. Permenaker Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial bagi Pekerja Migran Indonesia. Keputusan Presiden dan Instruksi Presiden yang berkaitan dengan peningkatan pelindungan PMI, seperti Inpres Nomor 2 Tahun 2019 tentang Peningkatan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Lalu bagaimana output dari semua produk hukum ini? Apakah sesuai dengan semangat yang diharapakn? Jawaban diplomatisnya, tidak ada gading yang tidak retak; tidak ada yang sempurna. Masih banyak celah untuk mengangkangi undang-undang agar luput dari seluk beluk peraturan yang harus dipenuhi. Bukan rahasia, kalau masih banyak perusahaan PPMI meloloskan calon PMI tanpa prosedur yang ditetapkan undang-undang. Bukan rahasia kalau ada banyak oknum pejabat dan penegak hukum (legislative, executive, dan yudikatif) terlibat dalam praktik illegal migrasi pekerja migran sebagai backing bandar penyalur PMI. Pun juga bukan rahasia kalau ada oknum NGO/pegiat PMI yang memposisikan diri sebagai pembela migran justru terlibat dalam permainan kotor demi memperoleh keuntungan materil.
Jadi memang pelindungan PMI itu hanya di atas kertas, pidato di mimbar-mimbar podium, diskusi-diskusi di podcast dan medsos, namun dalam tataran praktis justru miris bin tragis. Bila demikian keadaanya, lalu kemana pekerja migran harus menginduk mencari perlindungan bila semua institusi-institusi penting pelindungan PMI mengalami distrust dan moral hazard? ย Ayat-ayat dalam hukum adalah asas dan sangat diperlukan, namun yang lebih asasi dan penentu adalah ayat-ayat moral,agar pasal-pasal dalam hukum tidak menjadi ompong tanpa guna. Apa guna peraturan perundang-undangan tanpa kehendak moral penegaknya.
Negara hukum, supremasi hukum itu hanya hidup dalam ide, tetapi lemah lunglai dan mati dalam prkatik bila tidak menjunjung tinggi moral dan akhlak penegaknya. Pertanyaan selanjutnya, kurang apa sih kita dengan ajaran moral? Kurang apa agama-agama mengajarkan tentang ayat-ayat moral dan akhlak? Kurang apa peradaban, kebudayaan dan kearifan bangsa-bangsa mengajarkan tentang etika dan budi pekerti? Yah, sekaliber Prof. Mahfud MD saja tidak dapat menjawab, apalagi masyarakat pada umumnya.
So Whatโs Next
Kehendak hati, idealnya sebagai negara yang selalu mengklaim diri sebagai bangsa yang besar (the Giant State), Kaya akan sumber daya alam yang dibutuhkan untuk kehidupan. Dengan luas daratan sekitar 1,9 juta kilometer persegi, tersebar di lebih dari 17.000 pulau, ditambah luas wilayah perairan mencapai sekitar 3,2 juta kilometer persegi, termasuk laut teritorial, zona ekonomi eksklusif (ZEE), dan zona tambahan. Dengan posisi Indonesia yang strategis secara geopolitik,ekonomi, militer dan keamanan; terletak di persimpangan antara dua samudra (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia), menjadi titik strategis dalam perdagangan internasional dan alur lalu lintas laut. Indonesia memegang peranan penting di kawasan Asia Tenggara dan dalam konteks global.
Dengan segala keunggulan ini seharusnya Indonesia menjadi tempat yang paling sejahtera dan bahagia warganya di antara negara-negara di dunia. Dan fakta kita hari ini tidak mencerminkan itu. Kita hanya hany besar dalam geography dan jumlah, tetapi masih kecil dalam kualitas manusianya . Lee Kuan Yew pernah berkata dalam pidatonya yang terkenal ketika memerdekan diri dari Malaysia โyes Weโre small place in size or geography, but the quality of the man, the administration, the organization, and the mentality of people, donโt try! โ .
Saya tidak mau muluk-muluk membayangkan Indonesia, ingin menjadi negara maju seperti impian visi 2045 yang tidak jelas roadmap dan indikatornya itu; ingin melihat Indonesia mampu untuk tidak melakukan migrasi pekerja migran ke negara lain dalam rentang waktu 10 tahun kedepan, bekerja di negeri sendiri lebih menarik, dengan pendapatan perkapita rata-rata sekitar 40,000 USD, buat saya itu sudah bentuk kemajuan. Saat ini kita masih berada di kisaran $4000 USD per kapita. Jangan bandingkan dengan Singapura yang berada di kisaran $65,000 USD.ย ย Kita masih kalah dengan Malaysia $12,000 USD. Brunei di kisaran sekitar $30,000 USD.
Namun, bila dirasa itu masih terlalu berat juga, paling tidak Indonesia mampu mengirim pekerja migran dengan kualitas tinggi dan terdidik yang mewarnai pasar kerja dunia. Indonesia mestinya bisa bersaingdengan negara negara-negara lain, seperti Philippines, India, Pakistan, Jordan dan Mesir yang mestinya kita bisa bersaing dan Adu tanding; diantara negara-negara ini sudah banyak yang menempati posisi-posisi strategis, mulai dari analis, managers, general managers, CFO bahkan level CEO. Saya tidak dapat menunjukkan data-data akurat terkait hal ini, namun rasa-rasanya kita masih harus banyak berbenah dan meningkatkan level lebih tinggi. Kita berharap Presiden terpilih dan kabinetnya kedepan mampu mendobrak stagnasi dan membawa angin perubahan. Semoga!
Tak terasa perjalanan saya dan kang Indra ke Almuruj sudah sampai. Setelah menjemput teman-teman yang lain kami melanjutkan perjalanan ke Restoran Rindu Alam sekitar pukul 13.30 untuk makan siang dengan special menu Sate ala Rindu Alam Indonesia .