Oleh: Ari. M. Jinahar
Divisi Pengembangan Organisasi
Overseas Indonesians Network (OIN)
Menarik membaca data World Population Review 2022, tentang IQ (intelligence quotient) rata-rata penduduk negara-negara di dunia. Penelitian yang dilakukan oleh dua orang peneliti: Richard Lynn dan David Becker dari Ulster Institute. Dalam releasnya menempatkan Indonesia pada posisi yang memprihatinkan, namun tidak juga terlalu memalukan, yaitu pada posisi 130 dari 199 negara yang diuji. Tepatnya dengan rata-rata IQ 78,49. Terpaut jauh dari Vietnam di urutan ke 60, pada angka 89.53, terpaut jauh dari saudara serumpun Malaysia di urutan ke 73 pada angka 87.58, pun juga dengan saudara serumpun Bruney Darussalam di urutan 74 pada angka 87.58.
Dari data tersebut yang membuat malu sebenarnya adalah Indoneisa tertinggal jauh dibanding Myanmar yang berada di urutan ke 52, pada angka 91.18. Angka yang luar biasa untuk ukuran negara yang sedang dilanda konflik berkepanjangan karena kudeta kekuasaan yang dilakukan oleh Panglima militernya. Terbukti, setidaknya oleh hasil investigasi yang dilakukan oleh tim khusus dan independen yang diketuai oleh perwakilan dari Indoneisa sendiri, bahwa telah terjadi pelanggaran HAM atas tuduhan genosida terhadap warganya.
Yang lebih memprihatinkan adalah Indonesia tertinggal jauh dibandingkan dengan Myanmar yang berada di urutan ke-52 dengan IQ 91,18, meskipun Myanmar sedang dilanda konflik berkepanjangan karena kudeta militer. Ini menimbulkan pertanyaan besar: Apa yang salah dengan pendidikan kita? Apakah sistem pendidikan kita yang bermasalah, ataukah asupan gizi dan nutrisi yang tidak memadai sehingga menghambat perkembangan kognitif masyarakat kita?
Sebelum menjawab pertanyaan diatas, tentu idealnya terlebih dahulu kita balik bertanya pada hasil riset tersebut; bagaimana metode penelitianya, siapa di belakang dan siapa yang mendanai. Tidakkah pertanyaan-pertanyaan ini layak untuk diajukan? Sebagaimana para pendukung partai politik tertentu di tanah air ketika hasil riset dan survey tidak memuaskan, selalu balik bertanya metode ilmiah dan siapa yang mendanai.
Tidak bermaksud menolak hasil riset Richard Lynn dan David Becker dari Ulster Institute, namun sebagai bahan studi kritis, kita perlu mempertimbangkan beberapa pertanyaan alternatif. Misalnya, apakah hasil riset tersebut sejalan dengan variabel lain yang juga bertujuan mengukur kemajuan pendidikan suatu negara?
Kalau kita korelasikan dengan hasil riset lain, misalnya; ada riset terkait ranking universitas-universitas terbaik di dunia yang direleas oleh QS World University Rankings 2022. Secara khusus kita coba menyoroti beberapa perguruan tinggi di Arab Saudi yang masuk kedalam jajaran universitas terbaik di dunia, menempati posisi antara 100- 200, yang diwakili oleh King Abdulaziz Universitiy (KAU), King Fahd University of Petroleum & Mineral, dan beberapa Universitas lainya. Ranking ini terpaut jauh dari hasil ranking Indonsia yang menempati posisi antara 200-300 yang diwakili oleh Universitas Gagjah Mada,Universitas Indonesia dan beberapa Universitas lainnya .
Dari data tersebut kita coba bandingkan dengan hasil riset yang dikeluarkan oleh World Population Review 2022 terkait IQ rata-rata penduduk negara di dunia yang menempatkan penduduk Saudi Arabia pada posisi yang memperihatinkan, yaitu pada ranking 141 dari 199 negara dengan nilai 76,36. Menandakan IQ rata-rata penduduk Saudi Arabia lebih buruk dari rata-rata IQ penduduk Indonesia yang berada pada posisi 130 dari 199 negara, dengan nilai 78,49. Apalagi kalau dibandingkan dengan Myanmar, terpaut jauh dari Saudi Arabia.
Tentu saja hasil utak atik gatuk yang sederahana oleh saya ini, tidak secara komprehenship membedah hasil riset tersebut, tetapi paling tidak ini memberi gambaran, bahwa IQ yang tinggi tidak selalu linear dengan pencapaian-pencapaian suatu negara dalam berbagai bidang. Karena kecerdasan seseorang pada dasarnya tidak selalu ditentukan oleh IQ, dan bukan satu-satunya ukuran untuk menentukan kecerdasan manusia.
Howard Gardner dan Elisabeth Hobbs, peneliti dari Harvard University memunculkan istilah Kecerdasan Majemuk atau Multiple Intelligences melalui penelitiannya, bahwa kecerdasan pada manusia itu beragam, yaitu (1) Kecerdasan Verbal-Linguistik (verbal-linguistic intelligence), (2) Kecerdasan logika-matematika (logical-mathematical intelligence) (3) Kecerdasan spasial (spatial-visual intelligence), (4) Kecerdasan gerak-kinestetik (bodily-kinesthetic intelligence) (5) Kecerdasan musical (musical intelligences), (6) Kecerdasan intrapersonal (interpersonal intelligence), (7) Kecerdasan Interpersonal (intrapersonal), (8) Kecerdasan Naturalis (naturalist intelligence), dan (9) Kecerdasan eksistensial (existential intelligence).
Artinya, semakin menegaskan pada dasarnya setiap individu memiliki kecerdasan masing-masing yang berbeda dengan yang lainya. Kalo memakai idiom agama, sesungguhnya setiap orang punya “fadhilah” (potensi atau kelebihan) yang bisa dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan dirinya,keluarganya, masyarakatnya bahkan dunia. Namun demikian, hasil penelitian international tersebut bisa dijadikan sebagai tool yang menyadarkan kita semua, terutama regulator dan executor lembaga pendidikan di semua levelnya agar mawas diri, bahwa pada variable tertentu harus diakui Indonesia memang di bawah rata-rata IQ penduduk negara-negara di dunia.
Dan memang dari beberapa indikator dan jejak pendapat di kalangan akademisi dan pemerhati pendidikan mengindikasikan bahwa output pendidikan kita belum bisa dikatakan memuaskan. Masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus segera dicarikan solusinya, dengan melibatkan partisipasi masyarakat, terutama dari kalangan ahli yg berkompeten di bidang pendidikan, untuk menemukan permula-permula yg tepat agar bisa meningkatkan mutu pendidikan kita ke arah yang berkualitas,berkarakter, dan berdaya guna.
Di sisi lain, kita mencanangkan visi 2045 yang ambisius; menjadi negara maju. Namun menjadi pertanyaan adalah sejauh apa kesiapan kita untuk menyongsong 2045 yang serba gemilang itu? Jangan-jangan itu hanya jargon semata. Jangan-jangan itu hanya visual saja, namun tidak akan pernah menjadi nyata. Karena sebenarnya kita menyadari bahwa sesungguhnya kita belum memiliki alat kelengkapan yang cukup untuk menyambut hari esok yang indah itu. Kita belum cukup punya pasukan pikiran dengan beragam kompetensi untuk menyelesaikan permasalahan bangsa yang masih membelit kita hingga hari ini: Permasalahan korupsi masih menjadi momok utama penghambat kemajuan bangsa. Supremasi hukum justru makin kehilangan marwah dan rusak oleh aktor penegak hukum itu sendiri, dan seterusnya.
Sementara ini, pemerintah sudah mengusulkan draft RUU Sisdiknas, dimana pada tataran ide sangat bagus,yaitu bermaksud mengintegrasikan dan mencabut tiga Undang-Undang terkait pendidikan, yaitu Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Akan tetapi kehadiran RUU ini malah mengundang kritik tajam dari masyarKat. Karena isi dari RUU ini disinyalir jutru tidak menjawab problematika pendidikan itu sendiri. Ada beberapa catatan penting yang harusnya ada di RUU ini : Struktur anggaran dan distribusi anggaran yang seharusnya diatur agar tepat sasaran . Dana BOS harusnya ditiadakan saja, karena hanya menjadi ladang korupsi bagi penyelenggara pendidikan. Kongkalikong antara Dinas dak Kepsek sudah menjadi pengetahuan umum. Menurut Prof. Ahmad Baidhoi “ dari 100% dana BOS yang di salurkan, yang nyampe ke siswa tidak lebih dari 20%” . Duh..kalau phenomenanya seperti ini, bagaimana mungkin memperbaiki kualitas pendidikan kalo moralitas penyelenggaranya seperti ini. Masih yakin dengan visi 2045, menjadi negara maju kah Indonesia kita, atau malah sebaliknya; kemunduran ? Wallahu alam, saya tidak berani jawab. Semoga ada keajaiaban yah.